WAQFNOMICS

Asih Subagyo (Badan Pembina Baitul Wakaf)

Salah satu instrumen ekonomi Islam dengan potensi yang sangat besar adalah wakaf. Sayang hingga saat ini belum tergali dan termanfaatkan dengan optimal dan maksimal. Meski upaya untuk melakukan awareness terhadap wakaf ini terus dilakukan oleh berbagai pihak. Namun masih belum memadai. Indikasinya adalah, pemahaman umat terkait dengan wakaf, masih jauh dari harapan. Setidaknya, hal ini dapat dilihat dari hasil nilai Indeks Literasi Wakaf (ILW) yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada tahun 2020. Secara Nasional mendapatkan skor 50,48. Ini masuk dalam kategori rendah, skor ini terdiri dari nilai Literasi Pemahaman Wakaf Dasar sebesar 57,67 dan nilai Literasi Pemahaman Wakaf Lanjutan sebesar 37,97.  Sehingga, masih jauh dari tingkat literasi zakat yang mendapatkan skor 66.78, yang masuk dalam kategori tingkat literasi zakat menengah atau moderat. Dengan demikian maka, wajar jika kemudian pertumbuhan wakaf masih tertinggal dari zakat.

Menurut data Kemenag (http://siwak.kemenag.go.id/), asset wakaf tanah yang tercatat seluas  ±520.117.230 m2, terdapat di ±384.911 lokasi. Dari luasan tersebut, 72.71% (masjid/musholla), 4,45% (makam), 10,68% (sekolah), 3,53% (pesantren), 8,63% (fungsi sosial lainnya). Disisi lain 69,89% sudah bersertifikat, selebihnya belum. Data tersebut, terkait  aset wakaf yang sudah dicatatkan di Kemenag. Dengan melihat realitas dilapangan, dan rendahnya tingkat literasi wakaf, baik dari sisi wakif (orang yang berwakaf) maupun dari sisi nadzir (penerima dan pengelola harta wakaf), maka tidak menutup kemungkinan masih banyak asset wakaf yang belum tercatat dan termanfaatkan. Hal ini mengkonfirmasi bahwa pemahaman umat atas wakaf masih terbatas pada 3M (Masjid/Musholla, Madrasah dan Makam) Dilain pihak, menurut kemenag dan BWI, potensi wakaf uang/wakaf melalui uang dari berbagai sumber, kisaran angkanya sebesar 217 trilyun hingga 1.000 trilyun, dan ada yang memprediksi lebih dari itu.

Realitas ini, sesungguhnya juga menjadi  bukti bahwa, potensi yang besar ini, masih belum mampu dikapitalisasi menjadi kekuatan ekonomi riil. Apalagi, jika merujuk success story pengelolaan wakaf, baik dari sejarah wakaf sejah era Rasulullah SAW hingga kontemporer, termasuk pengelolaan wakaf kekinian di negara-negara lain. Semakin menunjukkan bahwa pengelolaan wakaf di Indonesia saat ini, masih jauh tertinggal. Sebenarnya, political will negara untuk menjadikan wakaf memiliki nilai yang lebih strategis sudah dilakukan. Paling tidak, ditandai dengan disyahkannya UU No 41 tahun 2014, tentang wakaf, yang cukup komprehenship. Dimana dalam UU tersebut, dengan tegas definisi wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syariah. Sebuah definisi yang telah mencakup pemahaman wakaf dari berbagai madzab. Hal ini juga diikuti oleh PP 42 tahun 2006 dan regulasi turunannya, termasuk beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh BWI. Hal yang sama juga dilakukan oleh KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah), yang juga menjadikan wakaf bersama dengan ZIS menjadi salah satu kekuatan keuangan ekonomi syariah. Pernyataan ini tertuang dalam Master Plan Pengembangan Ekonomi Syariah Indonesioa 2019-2024. Tetapi, sekali lagi di tataran implementasi masih belum sesuai dengan idealisme yang ada.

Dilain pihak, sesungguhnya ada yang menggembirakan. Yaitu, kesadaran umat sudah semakin menggeliat, berkenaan dengan wakaf ini. Saat ini, mulai banyak bermuculan nadzir baru terutama yang berbentuk organisasi atau badan hukum dengan menawarkan pengelolaan yang lebih profesional, serta memanfaatkan perkembangan teknologi. Juga Lembaga-lembaga lain yang concern terhadap wakaf. Sudah barang tentu, hal ini akan semakin mempermudah dan memperbanyak kanal bagi literasi wakaf kepada umat. Harapannya, dalam beberapa tahun kedepan, wakaf akan menjadi lifestyle, terutama bagi generasi milenial.

Pertanyaannya kemudian adalah, dengan berbagai fakta dan realitas di atas, bagaimana caranya agar wakaf ini, benar-benar menjadi instrumen keuangan dan ekonomi umat, sehingga menjadikan umat sejahtera. Untuk menjawab ini, maka salah satu kuncinya adalah menjadikan wakaf sebagai sebuah gerakan dan disinergikan dengan instrumen ekonomi keuangan syariah lainnya. Kami menamakannya dengan waqfnomics. Dimana dengannya, menjadikan wakaf sebagai motor dari gerakan ekonomi Islam itu sendiri. Didalamnya terkandung dua kekuatan sekaligus sebagai prasyarat sebagai sebuah gerakan ekonomi, yaitu competitive advantage (keunggulan kompetitif) dan comparative advantage (keunggulan komparatif).

Dalam konteks wakaf, secara sederhana keunggulan kompetitif ditandai dengan kenyataan bahwa dalam sistem produksi misalnya, wakaf berfungsi untuk mereduksi biaya produksi, sehingga menjadikan harga jual produk menjadi murah. Karena segala bentuk investasi berasal dari sumber wakaf. Sedangkan keunggulan komparatif ditunjukkan dengan tidak bisa dijualnya harta/asset wakaf, dan dapat disinergikan pemanfaatannya dengan instrument keuangan syariah lainnya untuk menghasilkan bisnis dan produk yang berkualitas dan variatif. Sehingga mauquf ‘alaih (beneficiaries/penerima manfaat) juga akan menjadi lebih banyak lagi. Secara simple, instrumen ekoomi syariah yang kita kenal, bisa digambarkan sevagai berikut : zakat dan infaq yang sifatnya karitatif dan filantrotopi itu berfungsi semacam cash transfer, sehingga meningkatkan daya beli umat. Sedangkan shodaqah dan wakaf, menjadi minimizing investment, sehingga lebih berfungsi untuk mereduksi biaya produksi. Dengan demikian maka, jika waqfnomics ini diterapkan dan disinergikan dengan instrumen keuangan lain, akan menghasilkan umat yang memiliki daya beli yang baik, perusahaan yang menghasilkan produk-produk yang berkualitas dan harga murah (terjangkau). Tentu masih banyak prasyarat lain yang mesti diintegrasikan. Tetapi, setidaknya konsep dasar ini, akan bisa menggerakkan ekonomi umat. Walahu a’lam.