Wakafpreneur: Generasi Anfaisme 4.0

Oleh: Imam Nur Azis

Komisioner BWI 2017-2020

Kita semua faham bahwa manusia yang mulia adalah yang bermanfaat (anfa’) bagi manusia lainnya. Kata Nabi SAW, “Sebaik-sebaik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (Riwayat Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).

Generasi anfaisme merupakan generasi pilihan yang menebar manfaat bagi umat. Tulisan ini berupaya mengidentifikasi siapa hakikatnya mereka dan bagaimana strategi mencapainya.

Mindset Nazhir

Bicara tentang menebar manfaat, ini sangat relevan dengan nazhir wakaf. Kenapa? Karena mindset (pola pikir) nazhir wakaf sesungguhnya bagaimana menjadi penyalur manfaat dari harta benda wakaf.

Secara sederhana, penulis mengkatagorikan ada 4 (empat) mindset nazhir.

Pertama, Nazhir versi 1.0. Yakni mereka yang sudah menjadi nazhir wakaf namun nir-visi. Inilah para nazhir tradisional yang mayoritas sudah tersebar di seluruh negeri.

Kondisi tersebut masih menjadi tantangan pengembangan wakaf hingga kini. Mereka diberikan amanah dan kesempatan masuk surga, namun tidak dioptimalkan.

Tidak mudah merubah pemikiran kalangan tradisional ini. Ratusan ribu orang masuk golongan nazhir tradisional yang mungkin sudah turun-temurun mengelola 3M (masjid/mushala, madrasah, dan makam).

Badan Wakaf Indonesia dan Kementerian Agama serta pemangku kepentingan lainnya tidak pernah lelah mensosialisasikan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nazhir yang produktif dan visioner. Tupoksi nazhir ada tiga, yakni menjaga harta benda wakaf, mengembangkannya, dan menyalurkan manfaatnya. Tanpa ada visi yang jelas, maka sulit sekali mensukseskan tupoksi ini.

Kedua, Nazhir versi 2.0. Yakni pengelolaan wakaf sudah memiliki visi namun nir-program. Ini sudah lebih baik daripada versi pertama.

Visi nazhir untuk memproduktifkan harta benda wakaf secara strategis perlu dibangun dengan ekosistem dan spirit entrepreneurship. Mereka idealnya selalu kolaborasi dengan pengusaha wakafpreneur.

Nazhir yang produktif perlu berkolaborasi dengan pengusaha yang piawai menciptakan nilai optimal dari potensi ekonomi harta benda wakaf. Namun ketiadaan program yang ciamik menjadi kendala. Visi sebagus apapun tidak akan banyak manfaat jika tidak bisa direalisasikan dengan kreasi program wakaf produktif.

Program adalah jantung yang memompa manfaat wakaf. Setelah mampu mendefinisikan visi, nazhir ditantang menciptakan program dan kegiatan yang baik. Program yang mampu menerjemahkan visi sehingga membumi ibarat pohon yang produktif berbuah lebat.

Ketiga, Nazhir versi 3.0. Yakni sudah bervisi dan memiliki program serta kegiatan, namun belum impactfull (berdampak optimal).

Manfaat wakaf akan mengalir berterusan apabila nazhir memiliki program yang berdampak bagi maukuf ‘alaih (penerima manfaat). Urgensi menggandeng pengusaha wakafprenuer sesuai lingkup usahanya karena mereka memahami dengan baik misalnya lokasi properti wakaf agar tercapai HBU (highest best used).

Proses studi kelayakan hingga mencari investor untuk harta benda wakaf akan mendorong nazhir wakaf melakukan korporatisasi. Nazhir boleh membentuk kongsi bersama pengusaha dalam rangka optimalisasi pendayagunaan proyek wakaf.

Meskipun visioner dan memiliki program hebat, para nazhir wakaf perlu melakukan korporatisasi dalam mengembangkan harta benda wakaf. Mindset nazhir yang sudah bekerjasama dengan ekosistem wakafpreneur akan terbuka, termasuk melibatkan para investor dalam program wakaf produktif.

Keempat, Nazhir versi 4.0. Yakni sudah bervisi, berprogram, dan sudah berdampak.  Inilah kondisi ideal untuk para nazhir.

Wakafpreneur Institute

Nazhir 4.0 adalah yang terdepan sebagai generasi anfaisme. Upaya yang bisa dikembangkan wakafpreneur melalui strategi 5C, yakni campaign, create, convert, competent, dan comply.

Campaign (kampanye) tentang wakaf adalah upaya meningkatkan literasi wakaf. Di masa sekarang, proses ini bisa dilakukan secara daring maupun luring.

Setelah makin banyak umat terpapar informasi wakaf, maka tugas nazhir mengkreasi (create) program wakaf yang kreatif dan produktif. Untuk tahap ini banyak diperlukan talenta mumpuni pembuat produk, menguasai pasar, serta teknologi. Di sinilah pelibatan usaha rintisan (start up) berbasis wakaf menjadi tantangan menarik.

Melibatkan kalangan millenial dengan menggunakan teknologi informasi, amat perlu untuk meningkatkan kreasi proyek wakaf. Misalnya teknologi blockchain dan gamifikasi wakaf.

Tahap berikut nya adalah meningkatkan competent (kompetensi) nazhir wakaf dengan pelatihan dan sertifikasi profesi nazhir. Badan Wakaf Indonesia kini mempersiapkan lembaga diklat dan sertifikasi secara online sehingga kelak seluruh nazhir diharapkan mampu memproduktifkan harta benda wakaf.

Kami di Wakafpreneur Institute tengah berupaya memperkuat ekosistem nazhir agar berjejaring international. Alhamdulillah, lembaga ini telah menyepakati kerjasama dengan CASEA-BC (Central Asia Southeast Asian Business Chamber) mengembangkan jaringan ekonomi syariah dan industri halal di 16 negara. Silakan layari informasi detailnya di www.wakafpreneur.com.

Baitul Wakaf sebagai nazhir produktif dari Hidayatullah yang terus berkembang juga tengah menjalin kolaborasi dengan Wakafpreneur. Tujuannya agar pembangunan kapasitas dan jejaring makin kokoh serta meluas hingga ke tingkat global.

Keseluruhan tahap 5C diakhiri melalui proses kepatuhan terhadap berbagai peraturan dan perundangan, baik hukum syariah, hukum positif, serta WCP (Wakaf Core Principal).

Melahirkan Nazhir versi 4.0 merupakan proses transformasi Wakafpreneur menjadi generasi anfaaisme tiada henti. Ini hakikatnya mengulang sejarah dahulu bahwa kejayaan peradaban Islam dimulai dari pembangunan wakaf yang impactfull.

Semoga para nazhir mampu meningkatkan kepercayaan publik sehingga wakaf makin banyak success stories-nya dan berjaya di Indonesia.*