Urgensi Nazhir Wakaf Uang

Ada tiga alasan yang melatarbelakangi usulan bank syariah menjadi nazhir wakaf uang. Pertama, secara internasional, pasca terjadinya krisis global tahun 2008, Islamic Development Bank melalui IRTI (sekarang menjadi IsDB Institute) telah mengembangkan FSAP (Financial Sector Assessment Program) for Islamic Finance, mengikuti langkah serupa yang telah diinisiasi oleh World Bank. Dalam FSAP for Islamic Finance ini dibahas mengenai sektor-sektor yang dapat mempengaruhi stabilitas sistim keuangan syariah dan penguatan perekonomian.

Salah satunya adalah sektor keuangan sosial syariah yang berbasis ZISWAF. Hal tersebut mengindikasikan bahwa wakaf uang hendaknya masuk menjadi salah satu concern utama ketika berbicara tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan, khususnya keuangan syariah.

Karena itu, fokus pengembangan wakaf uang ini tidak hanya menjadi wilayahnya Kemenag dan BWI saja, namun juga harus menjadi perhatian bersama seluruh otoritas di bidang keuangan dan perekonomian.

Kedua, perekonomian Indonesia termasuk ke dalam banking-based economy, dimana peran perbankan dalam mengalirkan “darah” bagi tubuh perekonomian masih sangat dominan. Hal ini ditunjukkan dengan porsi aset perbankan terhadap PDB mencapai angka 59,5 persen. Meski masih lebih kecil dibandingkan Malaysia (198,6 persen), Singapura (572,1 persen) dan Thailand (146,6 persen), yang aset perbankannya meleibihi PDB-nya, namun dengan porsi yang hampir 60 persen, dan disertai dengan fakta banyaknya program pemerintah yang disalurkan melalui perbankan, maka keberadaan perbankan menjadi sangat penting. Termasuk dalam hal pengelolaan wakaf uang.

Dengan kapasitas dan kemampuan bank syariah saat ini, maka menjadikan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang adalah pilihan strategis untuk mengoptimalkan potensi wakaf uang yang mencapai angka Rp 180 triliun, sekaligus memanfaatkan wakaf uang tersebut secara produktif untuk menggerakkan perekonomian nasional. Bank syariah akan lebih termotivasi untuk mendorong kampanye wakaf uang ini, dan ini juga akan memberi peluang alternatif sumber pembiayaan bagi UMKM yang porsinya mendominasi perekonomian Indonesia.

Ketiga, kapasitas penyaluran wakaf uang untuk investasi di sektor riil akan semakin besar. Ini dikarenakan kemampuan bank syariah telah teruji dalam hal penyaluran pembiayaan di sektor riil. Termasuk jika penyalurannya dilakukan dengan melibatkan institusi keuangan syariah lainnya, seperti penyaluran dalam bentuk channeling. Bisa dibayangkan jika investasi wakaf uang yang 180 triliun itu dilakukan pada sektor-sektor strategis dalam perekonomian, maka dampak multiplier-nya akan sangat luar biasa. Kolaborasi dengan institusi-institusi nazhir lainnya juga akan berkembang dengan baik.

Jika melihat kata wakaf dalam RUU P2SK, saat ini ada satu kata wakaf di Pasal 109, dimana wakaf dapat menjadi salah satu sumber pendanaan modal ventura. Kenapa tidak, kata wakaf ini, termasuk wakaf uang, diperluas pada pasal-pasal terkait perbankan syariah, dan bahkan LKS lainnya. Kalaupun UU No 41/2004 tentang Wakaf terkena dampak, maka hal tersebut hanya pada pasal-pasal tentang LKSPWU. Karena itu, penulis berharap pemerintah dan DPR dapat mempertimbangkan usulan ini, untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Wallahu a’lam.

sumber :

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI