TRANSFORMASI PARADIGMA MASYARAKAT TERHADAP DASAR HUKUM

WAKAF PRODUKTIF 

Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa yang menjadi salah satu hambatan besar bagi kesuksesan pemanfaatan wakaf secara produktif di Indonesia adalah masih kurangnya minat dari masyarakat untuk ikut serta dalam pelaksanaan wakaf produktif yang disebabkan di antaranya kurangnya sosialisasi dan keengganan yang ditimbulkan dari paradigma yang masih sempit mengenai pelaksanaan wakaf.

Wakaf selama ini masih dipahami oleh masyarakat hanya terbatas berbentuk wakaf tanah milik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Selama lebih dari 20 tahun, hal ini telah membudaya dalam masyarakat, sehingga ketika dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2002 tentang bolehnya berwakaf selain tanah, dalam hal ini berbentuk wakaf uang, transformasi implementasi perwakafan di kalangan masyarakat belum banyak berubah

Namun peluang mendayagunakan wakaf secara lebih optimal menjadi terbuka lebar ketika pemerintah mengesahkan rancangan Undang-undang Wakaf menjadi Undang-undang Nomor 41 di tahun 2004. Meskipun demikian pengelolaan wakaf secara produktif masih mengundang banyak tanya dan keraguan di kalangan masyarakat mengenai masalah-masalah yang timbul karenanya dan menggerus „keabadian‟ wakaf yang biasa dipersyaratkan. Seperti bagaimana bila aset wakaf tidak berkembang disebabkan karena menumpuknya dana (idle fund), turunnya nilai uang karena inflasi, dan hilangnya asset wakaf karena salah urus (mismanagement).

Oleh karena itu, wakaf sebagai bagian dari ibadah kemasyarakatan (ijtima‟iyyah) yang bersentuhan langsung dengan masyarakat umum, perlu terjamin kepastian hukumnya, baik dari sisi aset wakafnya maupun pengelola (nadzir). Hal ini sebagaimana mengutip pendapat Imam Malik dengan teorinya al-Mashlahat al-Mursalah, yang berarti melihat pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum, yang juga didukung dengan teori Utility dalam ilmu ekeonomi, yang dipelopori oleh Jeremi Bentham (748-1832), bahwa tujuan dari hukum atau perundang-undangan yang dibuat haruslah untuk kemanfaatan yang sebesarbesarnya bagi masyarakat

Dalam hal ini, berdasarkan penelitian Yasri, diketahui bahwa sebenarnya pembaruan hukum perwakafan di Indonesia dalam ketentuan hukum positif, di samping ketentuan hukum fiqih yang sifatnya zhanniyatud dalalah dianggap telah dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat tersebut. Tinggal permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mensukseskan sosialisasi pelaksanaan wakaf secara produktif ini secara masif kepada masyarakat, setelah mendapat naungan payung hukum tersebut.

Dalam proses transformasi paradigma masyarakat perlu kiranya mendudukkan kembali permasalahan-permasalahan yang selama ini masih menjadi bahan diskusi yang diragukan oleh masyarakat. Di antaranya adalah mengenai apa sebenarnya konsep wakaf yang diinginkan dalam Islam, apakah boleh bila harta wakaf dikelola secara seperti komersial dan bukan langsung digunakan untuk kebutuhan ibadah (mahdhah) saja. Apa sebenarnya tujuan dari pengelolaan wakaf secara produktif tersebut, apa perbedaaannya dengan pengelolaan wakaf yang selama ini terjadi, bagaimana dasar hukumnya, dan apakah kegiatan menginvestasikan harta wakaf tersebut benar sudah dilakukan sejak masa Rasulullah atau merupakan aktivitas baru yang mulai terjadi baru-baru ini saja.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut inilah yang satu-persatu coba dipaparkan untuk mendorong suksesi transformasi paradigma masyarakat dalam memahami dasar hukum wakaf produktif. Sehingga ke depan masyarakat menjadi memiliki gambaran yang jelas, untuk menjadi acuan bagi pelaksanaan pengelolaan wakaf yang lebih baik di kemudian hari.

SUMBER : Jurnal Hukum Islam dan Ekonomi Syariah