Banyak kisah sukses dalam pengelolaan wakaf di Indonesia. Salah satunya datang dari kisah Gontor yang berkembang dengan wakaf yang dilihat dari sejarah mulanya serta sedikit dari penerapan wakafnya.
Gontor punya role model dalam wakaf. Yaitu al-Azhar Kairo. Peradaban dan keilmuan yang dibangun oleh al-Azhar masih bertahan hingga saat ini. Dari situlah para pendiri Gontor yang dikenal dengan Trimurti mengambil contoh al-Azhar untuk menerapkan sistem wakaf dalam pengelolaannya sampai berkembang pesat samapi sekarang ini.
Putra dari pendiri Gontor KH Imam Zarkasyi yang bernama Prof Dr Hamid Fahmy Zarkasyi yang saat ini berprofesi sebagai Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor menuturkan beberapa hal yang dilakukan Gontor sehingga dapat berkembang dengan wakaf.
Pertama, adalah pondok pesantren masa depan harus memiliki khazanah atau simpanan agar bisa mandiri secara finansial. Kedua, pondok pesantren harus memiliki sistem kepemimpinan yang kuat dan bertahan lama. Dan ketiga, pondok pesantren pada masa depan harus berbentuk wakaf. Hal ini sebagaimana lembaga pendidikan Islam di masa lalu, misalnya pada zaman Dinasti Abbasiyah dilansir dari laman republika pad Rabu (10/03/2021).
“Lembaga pendidikan Islam pada masa lalu itu mendapat dukungan dana besar dari wakaf. Pada zaman Abbasiyah, setiap orang yang mau belajar, langsung diterima, mendapatkan tikar, lampu, pena, dan mendapat tempat untuk belajar. Tidak ada biaya yang dipungut,” tuturnya dikutip dari republika.co.id, Rabu (10/3/2021).
Pria yang kerap disapa Hamid itu memberikan penjelasan bahwa kiblat Gontor dalam mengembangkan wakaf adalah Universitas al-Azhar Kairo di Mesir yang merupakan pelopor penggunaan wakaf untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Dengan wakaf, universitas tersebut bsia bertahan sampai 1.000 tahun dan telah memberikan beasiswa kepada 500 ribu mahasiswa dari seluruh dunia. “Ini menjadi contoh bagi pendiri Gontor,” ucapnya dilansir dari Republika.
Lebih lanjut, Hamid mengungkapkan, Gontor dalam mengembangkan wakaf dengan membentuk wakaf fund atau simpanan dana wakaf yang bersumber dari usaha wakaf, muhsinin, dan dari wakaf santri. Simpanan dana tersebut dikembangkan lagi, misalnya lewat usaha-usaha, seperti mendirikan pom bensin, apotek, sawah, kebun kelapa sawit, dan usaha-usaha lainnya. Total ada 29 unit usaha pada wakaf fund itu.
“Hasil wakaf fund itu juga untuk kesejahteraan, untuk membangun perumahan bagi guru dan dosen kader. Guru dan dosen kader ini mendapat rumah di Gontor, mendapat ihsan, bantuan emergency, reward, misalnya diumrahkan atau dihajikan,” ujarnya.
Pimpinan, kiai, guru dan dosen kader, Hamid menjelaskan, tidak mendapatkan skim gaji. “Tetapi, semua guru kader mendapat rumah dan ihsan bulanan dari harta wakaf, bukan dari iuran santri. SPP santri tidak untuk membayar guru sehingga santri mendapat keringanan karena ini pondok pesantren wakaf,” tuturnya.
Hamid menilai, lembaga wakaf agar menjadi berkembang harus disertai dengan keikhlasan. Sebab jika tidak, yang terjadi adalah perebutan materi. “Tetapi, di Gontor alhamdulillah tidak terjadi hal seperti itu karena Panca Jiwa menjadi kehidupan para guru dan dosen yang menjalankan harta wakaf ini,” katanya menjelaskan.
Selain itu, Hamid menambahkan, harta atau sesuatu yang hendak diwakafkan seharusnya sudah menghasilkan. Contohnya adalah ketika Gontor diwakafkan pada 1958. Saat itu, Gontor sudah berjalan dengan 1.000 murid.
“Maka, ini bisa diqiyaskan. Seharusnya orang yang berwakaf itu mewakafkan sesuatu yang sudah menghasilkan. Jadi, para agniya (orang kaya), kalau bisa mewakafkan perusahaan yang sudah berjalan dan menguntungkan, bukan perusahaan yang rugi,” ujarnya.
Saat ini, Hamid menambahkan, amanat wakif telah tercapai, yaitu mendirikan universitas. Perguruan tinggi dirintis pada 1963 dan baru menjadi universitas secara penuh pada 2014 lalu. Dia menyadari pendirian universitas memakan waktu yang panjang karena terkendala persoalan SDM.
Sumber : bwi.go.id